Konstitusi menurut miriam budiardjo
Minggu, 22 November 2009
Konstitusi adalah sejumlah aturan dasar suatu negara mengenai kehidupan warga negara dalam sistem hubungan bermasyarakat dan sistem kekuasaaan bernegara.
Sosiologis dan politis: konstitusi menggambarkan hubungan antara kekuasaan nyata dalam Negara.
Yuridis: konstitusi adalah suatu naskah yang memuat semua bangunan Negara dan sendi-sendi pemerintahan.
Ciri-ciri konstitusi (Miriam Budiarjo):
a. Organisasi Negara, misalnya pembagian kekuasaaan antara legislatif, yudikatif dan eksekutif.
b. HAM.
c. Prosedur pengubah undang-undang.
d. Larangan pengubahan sifat undang-undang.
e. Memuat cita-cita rakyat dan ideologi negara.
A. Organisasi Negara, misalnya pembagian kekuasaaan antara legislatif, yudikatif dan eksekutif.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kekuasaan Penyelenggaraan Negara
Dalam rangka pembahasan tentang organisisasi dan kelembagaan negara, dapat dilihat apabila kita mengetahui arti dari lembaga Negara dan hakikat kekuasaan yang dilembagakan atau diorganisasikan kedalam bangunan kenegaraan.
Lembaga negara merupakan lembaga pemerintahan negara yang berkedudukan di pusat yang fungsi, tugas, dan kewenangannya diatur secara tegas dalam UUD. Secara keseluruhan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebelum perubahan mengenal enam lembaga tinggi/tertinggi negara, yaitu MPR sebagai lembaga tertinggi negara; DPR, Presiden, MA, BPK, dan DPA sebagai lembaga tinggi negara. Namun setelah perubahan, UUD 1945 menyebutkan bahwa lembaga negara adalah MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, MK, dan KY tanpa mengenal istilah lembaga tinggi atau tertinggi negara.
UUD 1945 mengejawantahkan prinsip kedaulatan yang tercermin dalam pengaturan penyelenggaraan negara. UUD 1945 memuat pengaturan kedaulatan hukum, rakyat, dan negara karena didalamnya mengatur tentang pembagian kekuasaan yang berdasarkan pada hukum, proses penyelenggaraan kedaulatan rakyat, dan hubungan antar Negara RI dengan negara luar dalam konteks hubungan internasional.
Disamping mengatur mengenai proses pembagian kekuasaan, UUD juga mengatur mengenai hubungan kewenangan dan mekanisme kerja antar lembaga negara dalam penyelenggaraan negara. Untuk dapat menelaah tentang hubungan antar lembaga negara tersebut, kita perlu mencermati konsep kunci yang dipakai dalam sistem pemikiran kenegaraan Indonesia.
Prinsip kedaulatan rakyat yang terwujudkan dalam peraturan perundang-undangan tercermin dalam struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan untuk menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi. Dari segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat biasanya diorganisasikan melalui sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution of power). Pemisahan kekuasaan cenderung bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (checks and balances), sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal kebawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.
Selama ini, UUD 1945 menganut paham pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal. Kedaulatan rakyat dianggap sebagai wujud penuh dalam wadah MPR yang berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara [Pasal 1 ayat (2), sebelum perubahan]. Dari sini fungsi-fungsi tertentu dibagikan sebagai tugas dan wewenang lembaga-lembaga tinggi negara yang ada dibawahnya, yaitu Presiden, DPA, DPR, BPK, dan MA. Dalam UUD 1945 (sebelum perubahan) tidak dikenal pemisahan yang tegas, tetapi berdasarkan pada hasil perubahan, prinsip pemisahan kekuasaan secara horizontal jelas dianut, misalnya mengenai pemisahan antara pemegang kekuasaan eksekutif yang berada di tangan Presiden [Pasal 5 ayat (1)] dan pemegang kekuasaan legislatif yang berada di tangan DPR [Pasal 20 ayat (1)].
Untuk mengetahui bagaimana proses penyelenggaraan negara menurut UUD, maka Prinsip pemisahan dan pembagian kekuasaan perlu dicermati karena sangat mempengaruhi hubungan dan mekanisme kelembagaan antar lembaga negara. Dengan penegasan prinsip tersebut, sekaligus untuk menunjukan ciri konstitusionalisme yang berlaku dengan maksud untuk menghindari adanya kesewenang-wenangan kekuasaan.
Pembagian Kekuasaan Negara
Perkembangan sejarah penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dalam kurun waktu 60 tahun Indonesia merdeka mengalami pasang surut sejalan dengan perkembangan kehidupan konstitusional dan politik yang selama ini telah tiga kali hidup dalam konstitusi dan sistem politik yang berbeda. Perkembangan sistem politik di Indonesia secara umum dapat dikatagorikan pada empat masa dengan ciri-ciri yang mewarnai penyelenggaraan negara, yaitu Sistem Politik Demokrasi Liberal-Parlementer (1945-1959), Terpimpin (1959-1966) [Orde lama], dan Demokrasi Pancasila (1966-1998) [Orde Baru] dan Demokrasi berdasarkan UUD [Orde Reformasi].
Adanya pergeseran prinsip pembagian ke pemisahan kekuasaan yang dianut dalam UUD 1945 telah membawa implikasi pada pergeseran kedudukan dan hubungan tata kerja antar lembaga negara dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, baik dalam kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Perubahan prinsip yang mendasari bangunan pemisahan kekuasaan antar lembaga negara adalah adanya pergeseran kedudukan lembaga pemegang kedaulatan rakyat yang semula ditangan MPR dirubah menjadi dilaksanakan menurut UUD.
Dengan perubahan tersebut, jelas bahwa UUD yang menjadi pemegang kedaulatan rakyat yang dalam prakteknya dibagikan pada lembaga-lembaga dengan pemisahan kekuasaan yang jelas dan tegas. Di bidang legislatif terdapat DPR dan DPD; di bidang eksekutif terdapat Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih oleh rakyat; di bidang yudikatif terdapat Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial; di bidang pengawasan keuangan ada BPK.
Namun demikian, dalam pembagian kekuasaan antar lembaga negara terdapat kedudukan dan hubungan tata kerja antar lembaga negara yang mencerminkan adanya kesamaan tujuan dalam penyelenggaraan negara.
Menelaah hasil perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan MPR mulai tahun 1999-2002, terdapat perubahan mendasar dalam penyelenggaraan negara. Salah satu perubahan mendasar tersebut adalah MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi karena prinsip kedaulatan rakyat tidak lagi diwujudkan dalam kelembagaan MPR tapi oleh UUD [Pasal 1 ayat (2)].
UUD 1945 salah satunya mengatur mengenai pemegang cabang kekuasaan pemerintahan negara dengan prinsip pemisahan kekuasaan secara tegas yang tercermin pada lembaga negara yang menjalankan fungsi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dengan mengedepankan prinsip checks and balances system.
Dengan adanya perubahan kedudukan MPR, berimplikasi pada berubahnya struktur kelembagaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Saat ini lembaga negara yang memegang fungsi kekuasaan pemerintahan (eksekutif) adalah Presiden, yang memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang adalah DPR, dan yang memegang Kekuasaan Kehakiman adalah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Adanya perubahan terhadap fungsi dan kedudukan lembaga membawa implikasi pada hubungan tata kerja antar lembaga negara karena pada prinsipnya UUD 1945 mengatur lembaga negara sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan secara tegas.
Pada kesempatan ini, saya hanya akan menyampaikan mengenai tugas dan fungsi MPR yang dengan perubahan tersebut berimplikasi pada perubahan tugas lembaga negara lainnya. Sedangkan tugas dan fungsi lembaga negara lainnya selain MPR akan disampaikan dalam bentuk pola hubungan antar masing-masing lembaga.
Tugas dan Fungsi MPR
Perubahan tugas dan fungsi MPR dilakukan untuk melakukan penataan ulang sistem ketatanegaraan agar dapat diwujudkan secara optimal yang menganut sistem saling mengawasi dan saling mengimbangi antarlembaga negara dalam kedudukan yang setara, dalam hal ini antara MPR dan lembaga negara lainnya seperti Presiden dan DPR.
Saat ini MPR tidak lagi menetapkan garis-garis besar haluan negara, baik yang berbentuk GBHN maupun berupa peraturan perundang-undangan, serta tidak lagi memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini berkaitan dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menganut sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat yang memiliki program yang ditawarkan langsung kepada rakyat. Jika calon Presiden dan Wakil Presiden itu menang maka program itu menjadi program pemerintah selama lima tahun. Berkaitan dengan hal itu, wewenang MPR adalah melantik Presiden atau Wakil Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Dalam hal ini MPR tidak boleh tidak melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden yang sudah terpilih.
Wewenang MPR berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945 adalah:
1. mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
2. melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;
3. memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar;
4. memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya;
5. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya, dari dua pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.
Hubungan antar Lembaga Negara
a. MPR dengan DPR, DPD, dan Mahkamah Konstitusi
Keberadaan MPR dalam sistem perwakilan dipandang sebagai ciri yang khas dalam sistem demokrasi di Indonesia. Keanggotaan MPR yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD menunjukan bahwa MPR masih dipandang sebagai lembaga perwakilan rakyat karena keanggotaannya dipilih dalam pemilihan umum. Unsur anggota DPR untuk mencerminkan prinsip demokrasi politik sedangkan unsur anggota DPD untuk mencerminkan prinsip keterwakilan daerah agar kepentingan daerah tidak terabaikan. Dengan adanya perubahan kedudukan MPR, maka pemahaman wujud kedaulatan rakyat tercermin dalam tiga cabang kekuasaan yaitu lembaga perwakilan, Presiden, dan pemegang kekuasaan kehakiman.
Sebagai lembaga, MPR memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan UUD, memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden, melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, serta kewenangan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Dalam konteks pelaksanaan kewenangan, walaupun anggota DPR mempunyai jumlah yang lebih besar dari anggota DPD, tapi peran DPD dalam MPR sangat besar misalnya dalam hal mengubah UUD yang harus dihadiri oleh 2/3 anggota MPR dan memberhentikan Presiden yang harus dihadiri oleh 3/4 anggota MPR maka peran DPD dalam kewenangan tersebut merupakan suatu keharusan.
Dalam hubungannya dengan DPR, khusus mengenai penyelenggaraan sidang MPR berkaitan dengan kewenangan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, proses tersebut hanya bisa dilakukan apabila didahului oleh pendapat DPR yang diajukan pada MPR.
Selanjutnya, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi adalah untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD. Karena kedudukan MPR sebagai lembaga negara maka apabila MPR bersengketa dengan lembaga negara lainnya yang sama-sama memiliki kewenangan yang ditentukan oleh UUD, maka konflik tersebut harus diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi.
b. DPR dengan Presiden, DPD, dan MK.
Berdasarkan UUD 1945, kini dewan perwakilan terdiri dari DPR dan DPD. Perbedaan keduanya terletak pada hakikat kepentingan yang diwakilinya, DPR untuk mewakili rakyat sedangkan DPD untuk mewakili daerah.
Pasal 20 ayat (1) menyatakan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Selanjutnya untuk menguatkan posisi DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif maka pada Pasal 20 ayat (5) ditegaskan bahwa dalam hal RUU yang disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak RUU tersebut disetujui, sah menjadi UU dan wajib diundangkan.
Dalam hubungan dengan DPD, terdapat hubungan kerja dalam hal ikut membahas RUU yang berkaitan dengan bidang tertentu, DPD memberikan pertimbangan atas RUU tertentu, dan menyampaikan hasil pengawasan pelaksanaan UU tertentu pada DPR.
Dalam hubungannya dengan Mahkamah Konstitusi, terdapat hubungan tata kerja yaitu dalam hal permintaan DPR kepada MK untuk memeriksa pendapat DPR mengenai dugaan bahwa Presiden bersalah. Disamping itu terdapat hubungan tata kerja lain misalnya dalam hal apabila ada sengketa dengan lembaga negara lainnya, proses pengajuan calon hakim konstitusi, serta proses pengajuan pendapat DPR yang menyatakan bahwa Presiden bersalah untuk diperiksa oleh MK.
c. DPD dengan DPR, BPK, dan MK
Tugas dan wewenang DPD yang berkaitan dengan DPR adalah dalam hal mengajukan RUU tertentu kepada DPR, ikut membahas RUU tertentu bersama dengan DPR, memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU tertentu, dan menyampaikan hasil pengawasan pelaksanaan UU tertentu pada DPR. Dalam kaitan itu, DPD sebagai lembaga perwakilan yang mewakili daerah dalam menjalankan kewenangannya tersebut adalah dengan mengedepankan kepentingan daerah.
Dalam hubungannya dengan BPK, DPD berdasarkan ketentuan UUD menerima hasil pemeriksaan BPK dan memberikan pertimbangan pada saat pemilihan anggota BPK.
Ketentuan ini memberikan hak kepada DPD untuk menjadikan hasil laporan keuangan BPK sebagai bahan dalam rangka melaksanakan tugas dan kewenangan yang dimilikinya, dan untuk turut menentukan keanggotaan BPK dalam proses pemilihan anggota BPK. Disamping itu, laporan BPK akan dijadikan sebagai bahan untuk mengajukan usul dan pertimbangan berkenaan dengan RUU APBN.
Dalam kaitannya dengan MK, terdapat hubungan tata kerja terkait dengan kewenangan MK dalam hal apabila ada sengketa dengan lembaga negara lainnya.
d. MA dengan lembaga negara lainnya
Pasal 24 ayat (2) menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ketentuan tersebut menyatakan puncak kekuasaan kehakiman dan kedaulatan hukum ada pada MA dan MK. Mahkamah Agung merupakan lembaga yang mandiri dan harus bebas dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan yang lain.
Dalam hubungannya dengan Mahkamah Konstitusi, MA mengajukan 3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk ditetapkan sebagai hakim di Mahkamah Konstitusi.
e. Mahkamah Konstitusi dengan Presiden, DPR, BPK, DPD, MA, KY
Kewenangan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan (2) adalah untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Disamping itu, MK juga wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Dengan kewenangan tersebut, jelas bahwa MK memiliki hubungan tata kerja dengan semua lembaga negara yaitu apabila terdapat sengketa antar lembaga negara atau apabila terjadi proses judicial review yang diajukan oleh lembaga negara pada MK.
f. BPK dengan DPR dan DPD
BPK merupakan lembaga yang bebas dan mandiri untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara dan hasil pemeriksaan tersebut diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD.
Dengan pengaturan BPK dalam UUD, terdapat perkembangan yaitu menyangkut perubahan bentuk organisasinya secara struktural dan perluasan jangkauan tugas pemeriksaan secara fungsional. Karena saat ini pemeriksaan BPK juga terhadap pelaksanaan APBN di daerah-daerah dan harus menyerahkan hasilnya itu selain pada DPR juga pada DPD dan DPRD.
Selain dalam kerangka pemeriksaan APBN, hubungan BPK dengan DPR dan DPD adalah dalam hal proses pemilihan anggota BPK.
g. Komisi Yudisial dengan MA
Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B ayat (1) menegaskan bahwa calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapat persetujuan. Keberadaan Komisi Yudisial tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan kehakiman. Dari ketentuan ini bahwa jabatan hakim merupakan jabatan kehormatan yang harus dihormati, dijaga, dan ditegakkan kehormatannya oleh suatu lembaga yang juga bersifat mandiri. Dalam hubungannya dengan MA, tugas KY hanya dikaitkan dengan fungsi pengusulan pengangkatan Hakim Agung, sedangkan pengusulan pengangkatan hakim lainnya, seperti hakim MK tidak dikaitkan dengan KY.
Demikian beberapa catatan mengenai tugas, fungsi serta hubungan antar lembaga negara menurut ketentuan UUD RI Tahun 1945 dan Peraturan Perundangan yang berlaku.
Daftar Pustaka
Joeniarto, S.H., Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bumi Aksara, Cetakan Keempat, Jakarta, Februari 1996.
Amir, Makmur & Reni Dwi Purnomowati, Lembaga Perwakilan Rakyat, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005.
Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1998.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Sejarah, Realita, dan Dinamika,
Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia, 2006.
Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai Urutan Bab, Pasal, dan Ayat, Sekretariat Jenderal MPR RI, 2005.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008.
Undang-Undang No. 22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
B. HAM.
PERUBAHAN KEDUA
UNDANG-UNDANG DASAR RI TAHUN 1945
BAB XA
HAK ASASI MANUSIA
Pasal 28A
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Pasal 28B
(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 28C
(l) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Pasa1 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
PasaI 28E
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Pasa1 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segalajenis saluran yang tersedia.
Pasal 28G
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
Pasal 28H
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.
Pasa1 281
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
(5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 28J
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
C. Prosedur pengubah undang-undang.
BAB XVI
PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR
Pasal 37
(1) Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir.
(2) Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat yang hadir.
ATURAN PERALIHAN
Pasal 1
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengatur dan menyelenggarakan kepindahan pemerintahan kepada Pemerintah Indonesia .
Pasal II
Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.
Pasal III
Untuk pertama kali Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Pasal IV
Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional.
ATURAN PERTAMBAHAN
(1) Dalam enam bulan sesudah akhirnya peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar ini.
(2) Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar.
D. Larangan pengubahan sifat undang-undang.
Larangan pengubahan sifat undang-undang, di karenakan sifat undang-undang merupakan sesuatu yang sangat sakral, jadi sifat undang-undng tidak boleh di ubah tapi, kita boleh menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa yang berada dalam sifat undang-undang.
E. Memuat cita-cita rakyat dan ideologi negara.
Pertama, The End Of Ideology (matinya sebuah ideologi negara) membuat jiwa dan karekter bangsa, cita-cita bangsa, nasionalisme dan patriotisme sudah menjadi sebuah pertanyaan besar bagi bangsa ini. Kita harus re-thinking, bagaimana cara membangkitkan kembali Power Of Pancasila merupakan semangat memiliki sebuah bangsa dan negara, semangat bersatu, semangat patriotisme, serta semangat kebanggaan dan nasionalisme sebagai warga negara Indonesia? Pancasila sebagai dasar negara yang dulu menjadi kekuatan utama bagi bangsa dan negara ini kini tinggal kata-kata, ia pun sekarang sedang mati suri karena dibius oleh Ideologi Neo Liberalisme dan fundamentalisme agama. Pancasila tidak lagi menjadi sumber dari segala tertib hukum semua peraturan hukum, regulasi, justru kebijakan nasional maupun daerah telah bernafaskan semangat Liberalisme dan Agamaisme. Pada era Orde Baru (ORBA) Pancasila dipasung, penguasa ORBA yang katanya menerapkan Pancasila secara murni dan konsukuen ternyata hanya menformalkan sebagai legitimasi kekuasaan bukan menjalankan nilai-nilai sesungguhnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketika ideologi negara sudah mati, Ideologi Liberalisme pun berkuasa di negara ini sehingga beberapa kelompok masyarakat beralih kepada agama sebagai ideologi alternatifnya. Kelompok masyarakat tersebut yang dulunya kecil sekarang semakin besar dan solid sehingga banyak terjadi konfik horizontal, dan itu dibiarkan oleh negara (state of crime). Tidak seajaran dianggap murtad, sedangkan yang tidak seiman dianggap kafir yang tidak sesuai semboyan Pancasila “Bhineka Tunggal Ika”. Agama tidak lagi dipandang sebagai cita-cita kemanusiaan yang universal, tetapi dipandang eksklusif oleh pengikutnya, masalah ini bertentangan dengan salah satu nilai Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.
Negara pun membiarkan komersialisasi pendidikan dan kesehatan, hanya orang kaya sekarang yang mampu kuliah di Perguruan Tinggi & berobat di rumah sakit, kemiskinan struktural, penyakit yang mewabah kepada orang miskin, ini bertentangan dengan salah satu nilai Pancasila, yakni Kemanusian Yang Adil Beradab. Negara pun tidak mampu memelihara wilayah kedaulatan seperti lepasnya Timor-Timur, dan beberapa pulau-pulau kecil, warga negara Indonesia yang melaut di wilayah Indonesia sendiri malah ditangkap oleh militer negara asing, persoalan ini merupakan bertentangan dengan salah satu nilai Pancasila, Persatuan Indonesia. 1 Juni, merupakan momentum memperingati hari lahirnya Pancasila, para elit negara ini kembali menyuarakan Pancasila sudah final sebagai dasar dan ideologi negara harus diterapkan. Hal itu menjadi suatu paradoks, sebab para elit yang berkuasa tersebut terpilih oleh sebuah sistem demokrasi yang telah rekayasa kekuatan oleh Ideologi Liberalisme? misalnya sistem politik langsung “demokrasi liberal” (PEMILU), baik ditingkat nasional maupun daerah yang bertentangan dengan salah satu nilai Pancasila (Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan). Bagaimana mungkin ketika percaya pada para elit yang berkuasa menyerukan tentang Pancasila disaat mereka berlomba-lomba menyuarakan “memaafkan” Suharto tanpa memproseskan hukum yang benar dengan salah satu nilai Pancasila (Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia)?
Kedua, The End Of Power Structural (matinya suatu struktur kekuasaan negara), memang negara ini mempunyai struktural kekuasaan secara de facto dan de jure. Negara ini mempunyai Pemerintahan (eksekutif); Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah (legislatif); Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial (yudikatif); Badan Pemeriksa Keuangan (pengawas keuangan negara) tetapi mereka tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Dunia ini memasuki era globalisasi, sebuah era yang melemahkan sebuah negara, dimana negara dilumpuhkan oleh kekuatan Global Market sehingga negara tidak mampu lagi membuat kebijakan dan regulasi yang memihak kepada kepentingan rakyat. Ini terbukti negara ini yang mempunyai dan memproduksi minyak bumi cukup besar harus mengikuti harga pasar internasional dengan harga mencapai US$ 100 per barel. Negara ini menjadi buah simalakala, di makan buahnya ibunya mati, tidak dimakan buahnya ayahnya mati. Dimana negara sangat sulit memutuskan, apabila negara menaikan harga BBM mungkin keuangan negara selamat tetapi rakyat semakin sengsara dan miskin, artinya negara menyerah ditangan pasar. Sebagai perbandingan pada era Pemerintahan Soekarno, dengan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin dengan mahalnya harga BBM di negara asing, Jakarta malah mendapatkan berlimpah-limpah uang, aneh bukan?
Selain menghadapi global market, Indonesia harus berjuang sekeras mungkin untuk melakukan perubahan pada dirinya, karena negara ini mempunyai “kangker ganas” yang siap membunuh dirinya sendiri, permasalahan KKN yang merajarela, dan Papua (Otsus/ Teriakan Merdeka). Negara tidak mampu lagi melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya, seperti aparat penegak hukum tidak mampu memberi jaminan kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan, malah milisi sipil mengambil fungsi aparat hukum negara “menegakan hukum menurut keadilan subjektif” seperti kasus penutupan rumah ibadah, pelarangan suatu aliran agama, sweeping pekerja seks komersil, minuman keras, pelarangan sebuah majalah. Negara tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan dan pendidikan murah, negara tidak mampu lagi menyediakan kebutuhan yang mendasar bagi rakyatnya, padahal itu semua diatur dan dijamin Pancasila dan UUD’45 yang membuat struktur kekuasaan negara untuk mensejahterakan rakyatnya, melindungi rakyatnya, memberikan rasa keadilan rakyatnya, mencerdaskan rakyatnya, serta melepaskan rakyatnya dari belenggu penderitaan rakyatnya.
Ketiga, The End Of The Leader (matinya sebuah pemimpin negarawan), negara sudah tidak lagi melahirkan pemimpin yang memiliki Grand Narrative (ide-ide besar) yang berjiwa kenegarawanan, seperti Soekarno, Hatta, Amir Sjarifuddin, Tan Malaka, Moctar Lubis, Leimena, dll. Bangsa ini kehilangan sosok/figur pemimpin yang bisa mengggambarkan dan menjelaskan apa dan bagaimana seharusnya bangsa ini kedepannya. Negera ini tidak lagi memiliki pejuang pemikir dan pemikir pejuang yang bisa menjelaskan visi politik, ekonomi, dan kebudayaan Indonesia ke depan. Kita dapat melihat dan merasakan banyak pemimpin yang banyak bicara tapi tdak berani melakukannya (No Action Talk Only), dan wilayah perpolitikan negeri ini berjalan tanpa arah. Negara ini banyak sekali melahirkan pemimpin “pelacur nasionalisme & intelektual”, seperti menjual aset-aset Negara dengan alasan privatisasi demi mendapatkan keuntungan & mencegah korupsi, membiarkan hutang negara membengkak demi menutup anggaran negara, dll. Para elit politik ramai-ramai bermain politik tanpa visi, cita-cita, dan program yang jelas, para elit ekonomi sama juga melakukan kegiatan ekonomi tanpa visi, cita-cita, dan program yang mensejaterakan rakyat. Mereka tidak memikirkan lagi masa depan negeri ini yang mereka cari adalah kekuasaan dan uang sehingga mereka hanya berkonflik pada tujuan tersebut.
Keempat, The End Of The People (matinya rakyat), kita pasti kenal dengan adigum suara rakyat suara Tuhan, sekarang negeri ini mempunyai adigum sendiri The Voice Of God Nothing The Voice Of People. Kekuatan civil society sudah melemah yang seharusnya menjadi benteng terakhir melakukan perubahan untuk mengarahkan negara ini menuju cita-cita proklamasi malah terjebak pertarungan politik ideologi, kekuasaan, dan uang. Komponen-komponen rakyat tetap ada, tetapi mereka tidak dapat bersatu lagi karena rakyat telah loyo dan lesu disebabkan banyaknya bencana alam, sulitnya kehidupan ekonomi, mahalnya harga BBM, berbagai penyakit yang menyerang (busung lapar, TBC, Malaria, HIV, dll.), dan berbagai penderitaan lainnya. Rakyat hidupnya sangat tersiksa, banyak individu masyarakat lebih baik kerja di luar negeri daripada hidup yang tidak pasti di negeri sendiri, banyak anak kecil yang harus bekerja meninggalkan kehidupannya (belajar dan bermain), banyak pelajar yang bunuh diri karena tidak mampu bayar sekolah, banyak pemuda-pemudi yang menjual kehormatannya demi bertahan hidup. Anehnya, panderitaan dan kemiskinan rakyat ditanggung secara personal, tidak ditanggung secara kolektif. Semakin jelas yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Rakyat sebenarnya secara politik sudah mati karena mereka hanya dijadikan komoditas politik ketimbang sebagai subjek politik.
Sebagai warga negara Indonesia, kita mempunyai pengharapan bagi bangsa dan negara ini, bagaimana kita bisa keluar dari berbagai persoalan tersebut. Tegasnya, untuk menjawab berbagai persoalan itu, harus ada perubahan yang cepat. Pertama, kita butuh negara yang kuat dan rakyat solid, kedua, kita butuh kesadaran kolektif untuk mendukung perubahan. Ketiga, kita harus membangun organisasi rakyat untuk menjadi pelopor dan motor yang mempersatukan seluruh komponen-komponen rakyat membuat Grand Narrative supaya terciptanya kesadaran kolektif untuk gerakan sosial baru menuju Indonesia dengan cita-cita Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan Proklamasi 17 Agustus 1945. Sebuah era dimana Indonesia yang keluar dari multi crisis, Indonesia mempunyai jiwa dan karekter, serta cita-cita politik kebangsaan dalam menghadapi tantangan di masa depan. Jika tidak, Indonesia memasuki babak yang penuh kegelapan, yaitu dari era Failed State menuju era Collapsed State, dan akhirnya menjadi The End Of Nation-State.
0 komentar:
Posting Komentar